Minggu, 09 Oktober 2011

PROBLEMATIKA MABA DAN PERAN ORGANISASI BEM

Wajah ceria dan optimisme masih tergambar jelas dalam benakku pada kuliah perdana 26 September dua minggu yang lalu. Ratusan mahasiswa baru STIKES NHM tampak begitu semangat. Langkah pertama dengan awal yang baik dari rangkaian panjang perjalanan mewujudkan cita-cita sudah terlaksana. Kesuksesan di langkah pertama telah tercapai. Tetapi, akankah awal yang baik ini akan selamanya menjadi baik? Dan benarkah kesuksesan dilangkah pertama ini akan terus tercapai dilangkah-langkah berikutnya? Saya pikir, setidaknya ada tiga hal yang menjadi sebuah problematika sekaligus sebagai tantangan yang ketika terabaikan maka awal yang baik akan berakhir dengan keburukan dan kesuksesan dilangkah awal akan berakhir dengan kegagalan.

PERTAMA, status sosial baru sebagai mahasiswa akan membawa konskuensi psikologis yang tidak kecil. Terlebih, status mahasiswa ibarat sebuah mata pedang ganda yang kuat dan tentunya itu berkonskuensi pada tumpukan tanggung jawab individual dan sosial. Kemandirian sikap dan berpikir yang dituntut kampus dan lingkungan harus ditunjukkan ketika menghadapi persoalan akademik dan kehidupan. Hanya ada sedikit, menurut hitungan saya, dari ratusan mahasiswa baru yang dapat melewatinya dengan baik.
Diawal kedatangannya, anak-anak muda ini terlihat bercahaya dalam kegairahan meraih masa depan. Namun satu atau dua tahun berikutnya, semangat akan bertumbangan. Kegairahan terkikis kebosanan akibat relasi baru di kampus yang kadang tak seiring sejalan. Mereka, kemudian berganti mencari keasyikan hingga pada akhirnya kegairahan meraih masa depan hilang dengan sendirinya.

KEDUA, lingkungan kampus ternyata menawarkan godaan hedonistik yang tidak kalah menarik dengan kota metropolitan. Rayuan konsumtifisme akan datang siang dan malam melalui iklan. Keasyikan materalistis menawarkan kesenangan dari pagi hingga pagi kembali. Teman dan lingkungan terdekat yang memiliki gaya hidup konsumtif, diam-diam menciptakan sebuah implosi, yakni ledakan ke dalam akibat terjadinya kontraksi nilai.
Fenomena ini dapat diamati melalui penampilan mahasiswa. Handphone “bermerek”, celana jeans “ketat”, rambut “rebonding”, dan sepeda motor “keren” telah begitu identik dengan mereka. Akibat godaan yang datang terus-menerus, konsumsi jadi luapan ekspresi. Membeli menjadi keharusan yang sulit ditolak dan kebohongan seakan bukan lagi sebuah dosa.
Disadari tidak disadari mahasiswa memang arena bagi perebutan segenap ideologi. Bahkan lebih dari seorang elit politik yang diperebutkan ketika mendekati pemilu dan pilkada. Konsumtifisme mewartakan pesannya melalui iklan dan fundamentalisme datang dengan berbagai gugatan. Akibatnya hanya sedikit “pejuang tangguh” yang bertahan pada keimanan, karena jalan itu ternyata sepi, gelap, dan berkelok serta penuh dengan kerikil dan duri yang siap melumpuhkan setiap saat.


KETIGA, pragmatisme akademik. Pragmatisme akademik merupakan sebuah ancaman yang kadang luput dari pengamatan. Ancaman ini lahir karena tidak semua dosen mampu membangkitkan nalar kreatif mahasiswa. Ada dosen yang terlalu sibuk mengurusi karier pribadinya sehingga mengabaikan mahasiswa yang dititipkan kepadanya. Sementara kampus, secara institusional, kerap terjebak pada kebijakan yang tak berpihak pada mahasiswanya. Contoh paling kentara pragmatisme akademik dapat diamati ketika seusai Mid Test ataupun Final Tes. Mahasiswa harus mengukur keberhasilan belajarnya dengan nilai A sampai E. A untuk sangat berhasil dan E untuk gagal total. Akibatnya, hal ini mengajak mahasiswa untuk memperoleh nilai A sebanyak-banyaknya. Minimnya penjelasan filosofis kerap membuat mahasiswa lupa baik A maupun E hanya bersifat simbolik. Karena hanya bersifat representatif, esensi proses belajar tetaplah berupa perubahan tingkat laku pembelajar dan munculnya ketauladanan dari pengajar.
Olehnya itu, para pakar pendidikan tinggi telah bersepakat pendidikan yang efektif memberikan kesempatan identitas personal berkembang. Maka, kebebasan mahasiswa dalam mengaktualisasikan dirinya haruslah diberikan ruang yang memungkinkan untuk bergerak bebas. Namun, kesadaran ini tidak serta merta dapat diterjemahkan dalam mekanisme akademik ataupun dalam kebijakan institusi. Akibatnya, persoalan personal kerap luput dari visi perguruan tinggi. Mahasiswa harus menyelesaikan sendiri atau menemukan komunitas yang tepat menghadapi gejolak personal yang dialaminya. Akhirnya, membangun komunitas kemahasiswaan yang sehat menjadi lebih menguntungkan.

Karena itu, insya Allah melalui BEM STIKES NHM 2011 saya bersama teman-teman pengurus bertekad untuk mencoba menggulirkan pembentukan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dalam menjawab tantangan ini dan tentunya do’a restu dan dukungan dari teman-teman semua sangat kami butuhkan demi tercapainya cita-cita kita ini. Semoga ini menjadi salah satu solusi buat semuanya terkhusus kepada MABA sebelum semuanya terlambat.

1 komentar:

  1. Niat yang baik insyaAllah akan berbuah keberhasilan jika diwujudkan dalam kerja yang nyata .....terus semngt..jalan juang tak selamanya sunyi..

    keep hamasah for ALL...^_^

    BalasHapus